Nasib terbaik bagi manusia barangkali adalah tidak di lahirkan ke dunia. Mungkin demikian anak manusia pernah berpikir ketika jiwanya sedang goncang dan hatinya tercabik-cabik melihat situasi kehidupan yang semakin tidak menentu. Betapa tidak? Begitu lahir, begitu dapat berpikir, manusia langsung dihadapkan kepada persoalan-persoalan dan pertentangan-pertentangan abadi. Pertentangan antara hati nurani yang ingin berdiri sendiri kehendak orang lain yang berbeda-beda.
Pertentangan selalu menimbulkan konflik. Tidak jarang konflik memunculkan permusuhan, kemudian meningkat kepada pembunuhan dan peperangan. Konflik yang dihadapi manusia sepertinya tidak pernah berakhir, selesai konflik yang satu akan muncul konflik yang baru.
Apa sebetulnya makna hidup ini? Mengapa manusia selalu berselisih dan berperang? Mengapa perbedaan ideologi dan pemahaman dalam menjalankan ajaran agama, dan ambisi politik terkadang membuat manusia kehilangan jati dirinya sebagai manusia?
Ternyata, sejarah manusia dibangun dari ceceran darah demi darah, luka demi luka, dan dendam yang sepertinya tak tersembuhkan. Sewaktu-waktu luka dapat terkuak kembali dan merembeskan darah baru dari generasi ke generasi. Dendam pun menjadi sesuatu yang tersem-bunyi bagai kalor laten yang setiap saat dapat meledak, menggoncang sendi-sendi kehidupan.
Alangkah nyeri luka yang diakibatkan oleh ambisi politik yang mengatasnamakan rakyat itu. Alangkah nyeri luka perang yang mengatasnamakan agama dan pelaksanaan kitab suci itu. Alangkah berat menegakkan kebenaran dan keadilan. Tapi, manakah kebenaran yang benar? Manakah keadilan yang adil?
Manusia selalu dibayangi pertikaian global dan malapetaka kemanusiaan yang mengerikan. Manusia gamang dalam menentukan kebenaran. Kehidupan berjalan gawat dan mengkhawatirkan. Konflik antar manusia bunkannya mereda, malah tambah membara dan selalu dibarengi ceceran darah di mana-mana.
Mengapa manusia tidak mau hening sejenak untuk menatap manisnya senyum mentari di pagi hari? Mengapa manusia tidak mau merenung sejenak untuk menikmati beningnya embun yang menetes dari lembar daun dan mendengar merdunya kicau segala burung?
Alangkah manisnya hidup ini bila manusia mau kembali kepada fitrahnya yang suci, bahwa meskipun mereka berbeda suku, ras, dan agama, namun pada hakikatnya adalah sama. Sama-sama makhluk ciptaaan Allah yang mestinya hidup berdampingan, mengisi dunia ini dengan kedamaian. Tapi mengapa realitas kadang bicara lain? Apa sebetulnya kehendak Tuhan terhadap hidup ini? Dan di mana letak kedamaian yang hakiki itu?
Menatap sisa sinar matahari di ufuk barat, membuat saya teringat pada perjalanan hidup ini. Perjalanan manusia di muka bumi tak ubahnya perjalanan matahari. Terbit dan terbenamnya bagai siklus abadi. Adakah suatu yang baru dari peristiwa terbit dan terbenamnya matahari? Sejak dulu hingga kini, dan entah sampai kapan, matahari akan tetap berjalan pada garis edarnya. Begitu pula perjalanan manusia. Ia terus datang dan pergi silih berganti mengisi dunia ini seperti perputaran abadi yang tak kenal henti. Adakah sesuatu yang baru dari peristiwa kedatangan dan kepergian manusia?
Sepertinya tidak ada yang berubah dalam kehidupan ini kecuali peradaban yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Peradaban yang kadang masih menyimpan kesangsian masa depan, sebab masa depan adalah teka-teki yang sulit dipastikan. Ataukah rahasia itu tak perlu dipikirkan?
Kalau saja hidup ini berjalan begitu sederhana, tentulah manusia tak akan berpusing – pusing seperti ini. Tapi hidup ternyata tidaklah sesederhana yang di ucapkan.
Hidup adalah gerak yang tidak pernah diam. Hidup memuat berbagai masalah. Dan masalah yang di hadapi manusia sepertinya tidak pernah tuntas, sebab selesai masalah yang satu, akan muncul masalah yang baru. Begitu seterusnya, hingga akhirnya masalah itu bermuara pada masalah yang paling besar. Di sinilah akan ditentukan harkat dan martabat seorang manusia yang sesungguhnya, adakah ia akan mundur teratur menghadapi masalah itu dengan resiko dicap sebagai pribadi yang kalah dan pengecut, ataukah maju pantang menyerah sehingga akhirnya ia berhak menyandang gelar pribadi yang besar?
Namun menjadi pribadi yang besar atau menjadi orang yang kalah bukanlah tujuan hidup. Kalah menang sama saja, bagian dari proses perjalanan anak manusia dalam menemukan jati dirinya.
0 komentar:
Posting Komentar